Rabu, 21 Oktober 2009

ISTRI UNTUK SUAMIKU



by :Faradina Izdhihary

Nisa pingsan di depan kamar mandi. Hadi panik tak karuan. Rasa takut berlebihan menyelimuti hatinya. Hadi takut penyakit lama Nisa kambuh lagi. Beberapa hari ini Nisa memang mengeluhkan perutnya terasa sakit dan melilit.

"Kita ke dokter, ya Nis," ajak Hadi tadi pagi usai shalat subuh berjamaah. Nisa tak seperti biasanya langsung melepaskan mukena dan pamit untuk tidur lagi. Ia mengeluh perutnya semakin sering terasa diremas-reams.

"Nggak ah, Mas. Ntar juga sembuh sendiri. Paling juga maag ku aja Mas. Aku sudah minum obat kok, Mas."

"Mas gak mau terjadi apa-apa padamu. Nanti sebelum ke kantor kita ke dokter Andi. Orang sakit kok dibuat main-main."

"Iya dech, Mas. Nanti setelah memandikan Rafa dan Rafi."

Itu percakapan mereka tadi pagi. Belum sempat mereka pergi ke dokter Andi, Annisa sudah lebih dulu pingsan ketika hendak mandi.

Sambil berteriak-teriak meminta Mbok Nah, pembantunya, untuk membuka pintu dan menyuapi si kembar, Hadi mengeluarkan mobil dari garasi. Seperti gila saja ia kemudian melarikan mobilnya dengan kecepatan tinggi.

"Ya Allah, ampuni aku. Aku mohon.... selamatkan Annisa. Aku tak sanggup harus kehilangan lagi."

Untung di tempat praktik dokter Andi masih sepi. jam di ruang tunggu yang masih lengang menunjukkan angka lima lewat 35 menit. Seharusnya dr. Andik baru akan buka jam tujuh pagi nanti. Tapi Hadi yang telah seperti kesetanan tak peduli dengan jadwal praktik itu. Ia mengedor pintu dapur dan membunyikan bel tamu bekali-kali.

Tergopoh-gopoh seorang perempuan tua membukakan pintu.
"Maaf, Pak. Jam praktik masih setengah jam lagi."
"Mbok.... katakan pada dr. Andik, saya Tuan Hadi Sufyan, katakan istrinya saya pingsan, Mbok. Tolong saya Mbok!"

Tanpa menunggu jawaban pembantu tua itu, Hadi sudah mebopong tubuh Anita yang belum sadar ke ruang praktik dokter. Hadi sudah memutuskan ia akan nekad memaksa dr. Andi membuka pintu dan mengobati Annisa, jika perlu. Tapi ia yakin dr. Andi akan segera menemuinya sebab hampir 3 tahun istrinya telah menjadi pasien tetap dr. Andi.

Tak berapa lama menunggu, ruang prakktik dokter itu pun dibuka seorang laki-laki setengah baya yang biasanya bertugas sebagai pendaftar pasien. Dari dalam dr. Andik seperti bergegas menemui Hadi.

"Kenapa dengan Bu Hadi, Pak?"sapa dr. Andi akrab. Maklum keduanya telah cukup saling mengenal.

"Annisa pingsan, Dok."
Dibantu lelaki yang tadi membukakan pintu, Hadi membopong istrinya ke atas ranjang pemeriksaan. Dokter Andi kemudian memberikan pertolongan pertama. Memang tadi sewaktu dalam mobil Annisa sempat sadar tapi kemudian pingsan lagi.

Tak berapa lama Annisa pun siuman. Hadi merasa sedikit lega. Tapi rasa takut yang sangat besar semakin kuat menghantui pikirannya.

"Sementara saya belum bisa menemukan penyakit pada Bu Annisa. Tapi untuk pemeriksaan lebih lanjut kita akan lakukan tes darah dan urine. Ibu butuh istirahan paling tidak 2 hari di rumah sakit," jelas dr. Andi.

Hadi menurut saja ketika akhirnya beberapa orang perawat mendorong kereta Annisa dan membawanya ke rumah sakit tempat dr Andi berpraktik, yang letaknya tepat di samping rumah tersebut.

Di ruang tunggu, hati Hadi seperti diremas-remas. Semua kenangan masa lalunya di rumah sakit itu seperti slow motion movi yang diputar ulang di hadapannya. Tak bisa tidak ia tak bisa berlari atau memejamkan matanya. Di rumah saki inilah setahun yang lalu ia kehilangan Nurul, perempuan pertama dalam hidupnya, yang ia kasihi sepenuh hatinya.

Nurul, perempuan yang ia nikahi saat masih semester 7 adalah perempuan terbaik yang ditemui Hadi dalam hidupnya. Mereka berkenalan dalam sebuah kegiatan kepenulisan di kampus. Nurul sangat suka menulis puisi, sedang Hadi lebih suka menjadi reporter. Frekuensi pertemuan membuat mereka akhirnya semakin dekat dan saling jatuh hati.

Baru tiga bulan mereka berpacaran, Hadi memutuskan untuk berkunjung ke rumah Nurul di desa. Setor muka ke camer, begitu canda Hadi. Nurul sebenarnya tak siap. Ia takut pada bapak dan kakak laki-lakinya, Mas Fattah, yang berkali-kali dengan tegas melarang Nurul berpacaran. Tak ada istilah pacaran dalam Islam, begitulah yang diajarkan keluarganya. Tapi bukan Hadi namanya jika tak nekad.

Kunjungan pertama Hadi ke rumah Nurul di luar dugaan langsung menghasilkan keputusan yang luar biasa. Hari itu juga, Hadi masih ingat, bapak dan kakak Nurul langsung menginterogasinya dengan berbagai pertanyaan. Intinya sederhana menanyakan kemana hubungan Hadi dan Nurul hendak dibaa? Apakah Hadi benar mencintai Nurul. Hadi menjawab sejujurnya bahwa ia benar-benar mencintai Nurul, meski ia tak mengakui bahwa Nurul adalah pacar pertamanya. Mendengar jawaban itu, bapak dan Mas Fatah langsung menodongkan dua pilihan sulit. Menikahi Nurul secepatnya atau putus.

Ditodong dua pilihan sulit tersebut Hadi tentu tak bisa menjawabnya. Menikah saat kuliah belum selesai tentu sangat berat bagi Hadi. Apalagi ia belum mempunyai penghasilan sendiri, meski kadang-kadang ia mendapat pekerjaan kecil-kecilan dari kakaknya, Mas Ridlo. Sebaliknya, berpisah dengan Nurul, Hadi takkan sanggup. Hadi memilih meminta waktu untuk membicarakan masalah tersebut dengan keluarganya. Sungguh diluar dugaan Hadi, baik Mas Ridlo, maupun kedua orang tuanya menyetujui pernikahan itu.

"Kau mendapat gadis yang tepat. Orang tuanya lebih memilih keselamatan akhirat daripada kenikmatan dunia. Soal penghasilan, percayalah Allah akan mencukupi segala kebutuhan kalian kelak."
Begitulah ibunya yang sederhana dan tidak berpendidikan tinggi itu kemudian menyitir ayat Alquran tentang kewajiban untuk segera menikah bagi siapa yang sudah mampu atau takut terjatuh pada perbuatan zina. Tak ada lagi keraguan bagi Hadi untuk menikahi Nurul. Gadis yang dicintainya itu mendampinginya penuh kesetiaan dan kasih sayang. Sejak Hadi masih kuliah, mencari pekerjaan, bekerja serabutan dengan penghaslan pas-pasan hingga memiliki usaha yang lumayan besar. Sungguh, setiap kali mengingat betapa besar Allah mengaruniakan nikmat dan rezeki dalam kehidupan rumah tangganya, Hadi semakin mensyukuri nikmat Allah dan semakin tebal keyakinannya pada kebesaran Allah.

Hingga ujian berat itu tiba-tiba datang.

"Keluarga Ibu Annisa," sebuah suara memutuskan lamunan panjang Hadi.

Bergegas Hadi menemui dokter kandungan di ruang konsultasi. Hatinya berdegup kencang. Ketakutan akan kehilangan orang yang sangat dicintainya begitu jelas tergambar di matanya.

"Bagaimana keadaan istri saya, Dokter?"

"Mari silakan duduk," tawar dokter Farida ramah. Hadi sempat melirik nama dokter itu di dadanya.

"Selamat! Allah rupanya telah mempercayai Bapak untuk menjaga amanah-Nya. Bu Nisa sedang mengandung dua bulan."

Hadi tak percaya. Sesaat seperti terputus nafasnya.

"Tapi... mana mungkin? Bukankah rahimnya sudah diangkat karena tumor ganas, Dokter?"

"Rahim Bu Nisa hanya diangkat satu, Pak. Masih ada yang sebelah. Kondisi janin dan ibunya juga sehat. Bapak tidak perlu khawatir."

"Tapi bagaimana dengan tumor ganas itu?"

"Bapak tenang saja. Insya Allah rahim Bu Nisa sudah benar-benar bersih. Namun sebagai upaya preventif, Ibu harus selalu menjaga kesehatan dan sering memriksakan diri. Sekali lagi selamat Pak."

Dokter Farida mengulurkan tangannya. Hadi menerimanya dengan air mata yang mendadak hendak tumpah dari kelopak matanya. Ia tak malu.

Seperti berlari ia menemui Annisa. Dilihatnya Annisa masih tampak lemah meski wajahnya sudah mulai terlihat segar kembali.

"Nisa......"
Hadi tak sanggup berkata-kata. Tidak ia pedulikan suster yang sedang membersihkan kantung plastik dan obat untuk infus Annisa.

"Mas... Mas kenapa? Aku sakit apa?" Annisa seperti kehabisan nafas karena Hadi memeluknya terlalu kuat.

"Nis.... kamu nggak sakit apa-apa. Kamu hamil Nis, kamu hamil."

"Subhanallah! Subhanallah......" kalimat tasbih itu meluncur berkali-kali di bibir Annisa.

Annisa menangis tanpa suara. Air matanya lebih deras dibanding air mata Hadi. Keduanya larut dalam keharuan yang tak bertepi.

Masih kuat dalam kenangan Annisa bagaimana awal mulanya ia mengenal Hadi dan Nurul, pasangan suami istri yang begitu rukun dan saling menyayangi. Saat itu sudah hampir 4 tahun Annisa menjadi pekerja sosial dari sebuah lembaga sosial keagamaan. Ia mendampingi para pasien penderita kanker yang divonis hidupnya tidak lama lagi. Tugas Annisa adalah memberikan motivasi dan pendampingan agar mereka lebih sabar dan siap menghadapi semua kemungkinan yang akan terjadi.

Di antara sekian puluh pasien yang pernah ditangani Annisa, Nurul adalah salah satu pasien yang paling tabah dan sabar. Ia tak pernah mengeluhkan sakitnya. Nurul menyatakan kesiapanya menghadapi segala kemungkinan.

"Sungguh kalau disuruh memilih saya pun ingin hidup lebih lama lagi mendampingi Mas Hadi. Rafa dan Rafi masih terlalu kecil. mereka membutuhkan saya. Tapi inilah ketentuan dari Allah. Sebagai hamba-Nya kita hanya bisa menerima bukan?'' begitu kata Nurul saat berbincang-bincang.

Keduanya akhirnya semakin akrab bahkan seperti menjadi saudara dekat. Seringkali ketika Nurul harus mnejalani kemoterapi atau mendadak drop dan terpaksa opname di rumah sakit, Annisa dengan senang hati membawa Rafa dan Rafi pulang ke rumahnya. Annisa bahkan sangat menyayangi kedua bocah kembar yang malang itu. Sering ia menitikkan air mata ketika melihat kedua bocah itu memanggil-manggil mamanya saat malam sebelum tidur.

Nurul pula satu-satunya pasien yang mengetahui masa lalu dan alasannya menjadi pekerja sosial. Sebenarnya tidak sengaja Nurul menceritakan semua itu. Karena ia merasa tidak pantas mengeluhkan kesedihannya pada para pasien yang didampinginya. Bukankah seharusnya para pasien itu yang mengeluh dan membagikan dukanya, bukan dirinya mengluh dan membagikan dukanya pada pasiennya. Tapi semuanya terjadi ketika suatu kali Nurul menanyakan mengapa Annisa tidak segera menikah.

"Nis... Mbak lihat kamu cukup pandai merawat Rafa dan Rafi. Kapan nih cari calon bapak buat calon mujahid yang bakal lahir dari rahimmu?"

Annisa tak dapat menyembunyikan kesedihannya, meski tak sempat air mata tampak di kelopak matanya. Cukup bagi Nurul untuk memahami ada kemurungan di hati Annisa saat gadis berhati emas itu berubah raut wajahnya.

"Nis... maafkan Mbak."
"Nggak ada yang salah, Mbak. Tapi Nisa perempuan invalid. Tak kan ada satu lelaki pun yang mau menikahi Annisa."

Lalu meluncurlah semua cerita Annisa. tentang tumor ganas yang menyerang rahimnya saat ia masih duduk di bangku SMA. Awalnya bapak dan ibu Annisa berpikir bahwa penyakit Annisa yang suka pingsan dan mengeluh sakit perut menjelang menstruasi itu sebagai gejala pre menstruasi biasa. Hingga suatu hari Annisa benar-benar terkapar. Dari hasil pemeriksaan diketahui bahwa di rahim Annisa ditemukan tumor yang berpotensi menjadi tumor ganas. Tidak ada pilihan untuk menyelamatkan Annisa kecuali rahimnya harus diangkat.

Sejak itu Annisa memutuskan untuk tidak pernah mau jatuh cinta, berpacaran, atau bermimpi berumah tangga.

"Nis.... Nisa, kamu nggak papa?" tanya Hadi memutuskan lamunan Annisa.

"Nggak Mas. Alhamdulillah. Aku hanya hampir tak percaya menerima keajaiban ini. Alhamdulillah, Mas."

"Kata dokter kandunganmu dan rahimmu sehat. Kamu hanya perlu istirahat sehari di sini."

"Mas... aku rindu Mbak Nurul. Besok kita ke makam Mbak Nurul, ya Mas."

Hadi mengangguk. Tak ada lagi suara di kamar itu. Hadi dan Annisa larut dalam kebahagiaan akan kebesaran anugerah Allah. Ucapan Annisa tentang kerinduannya pada Nurul seperti membuka kenangan keduanya bagaimana mereka dipertemukan dalam tali perkawinan.

*****

"Nis... kalau waktuku tiba kelak, aku titip Rafa dan Rafi."

"Iya, Mbak. Percayalah. Aku sayang pada keduanya," janji Nisa tulus, bukan sekedar basa basi seperti yang selama ini sering ia ucapkan sebagai penghibur pada para pasiennya.

"Aku sungguh-sungguh Nis. Kulihat Rafa dan Rafi semakin hari semakin dekat denganmu. Kamu cocok jadi ibunya, Nis."

Annisa tersipu. Ia tak mau berpikir terlalu jauh. Toh menurut dokter Nurul masih dapat bertahan dalam 2 atau 3 tahun. Tapi demi menyenangkan Nurul akhirnya Annisa mau juga berjanji ketika Nurul mendesaknya agar mau berjanji untuk merawat dan menyayangi Rafa dan rafi seperti anaknya sendiri.

Annisa maupun Hadi tak pernah tahu betapa diam-diam Nurul bahagia mengenal Annisa. Gadis lemah lembut dan salehah itu membuatnya lebih tenang menghadapi kematian. Bahkan diam-diam ia bersyukur karena Allah telah memberi tanda bagi dirinya untuk bersiap-siap menghadapi kematian. Ia mensyukuri kanker yang ia alami sebagai wujud nikmat Allah karena ia semakin rajin beribadah, shalat malam, shalat dhuha, dan puasa senin kamisnya tak pernah putus semenjak ia divonis terkena kanker rahim.

Pertemuannya dengan Nurul pun semakin membahagiakan dirinya. Ia menemukan gadis yang tepat untuk suaminya, ibu yang tepat untuk anak-anaknya. Ia yakin bukan tanpa rencana Allah mempertemukan dirinya dengan Nissa. Ia sudah putuskan untuk meminta Hadi menikah dengan Nurul secepatnya. Nurul yakin setiap pengabdian dan pelayanan tulus yang diberikan Annisa pada suaminya adalah juga pengabdian dan kasih sayangnya pada suaminya.

Hingga sore itu, saat Hadi menjemputnya usai menjalani kemoterapi, saat Annisa masih berada di kamar rawatnya, Nurul menyatakan keinginannya.

"Mas... aku ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting," kata Nurul sambil mencoba duduk.

"Kalau begitu saya permisi menunggu di luar ya Mbak,"pamit Annisa.

"Jangan! Kamu harus di sini, Nis!"

Hadi dan Annisa berpandangan tak mengerti.

"Mas... aku mohon menikahlah dengan Annisa. Anak-anak membutuhkan seorang ibu."

"Bu... apa-apa an sih? Ibu ini ngomong apa?"

Nurul pun sama terkejutnya dengan Hadi. Bedanya ia hanya mampu terbelalak tak sanggup berkata-kata.

"Ini permintaan terakhirku Mas. Percayalah jika engkau, Annisa, bersedia dinikahi Mas Hadi, pada setiap senyum yang kau berikan pada Mas Hadi adalah pengabdianku sebagai seorang istri. Tolonglah aku. Aku ingin selamanya mendampingimu, Mas selamanya membesarkan anak-anak. Tapi aku tak bisa. Satu-satunya yang aku yakini bisa adalah Nisa."

Nurul menyampaikan permohonannya dengan suara tegar. Tak ada isak atau tangis. Justru Hadi dan Annisa lah yang tak sanggup menahan tangisnya. Berat sekali bagi Hadi meniah dengan perempuan lain yang hanya ia kenal sekilas saja, tak ada gairah apalagi cinta pada Annisa, sebab hatinya hanya satu untuk Nurul, istri satu-satunya yang paing dicintainya.

Hampir dua bulan setelah permintaan Nurul itu kondisi Nurul semakin memburuk. Baik Hadi maupun Annisa tak pernah memikirkan terlalu jauh permintaan Nurul. Namun hampir setiap hari Nurul mengingatkan permintaan terakhirnya. Hadi dan Annisa akhirnya membicarakan permintaan itu dengan serius. Hadi menyatakan kerisauannya karena ia seorang suami dengan dua orang anak laki-laki. Sebaliknya Annisa menceritakan semua masa alunya, terutama tentang tumor ganas yang pernah dialaminya. Juga rahimnya yang telah diangkat.

"Asal Dik Nissa setuju, soal cinta bisa kita tumbuhkan bersama-sama. Insya Allah jika niat kita ikhlas dan suci Allah akan meridloi," begitu pernyataan Hadi pada akhirnya yang menguatkan keputusan Annisa menerima pinangan itu.

Atas permintaan Nurul pula, pernikahan itu pun segera digelar. Pernikahan yang sederhana. Tanpa pesta dan bunga-bunga. Nurul melepas tangan suaminya untuk menandatangani buku nikah dan menyalami penghulu usai mengucap ijab kabul dengan mata berbinar. Ia telah memberi kebahagiaan buat suaminya.

Hanya dua minggu setelah pernikahan itu, Nurul meninggal dengan tenang. Ia sempat drop malam-malam, namun memaksa mengambil air wudlu. Aku ingin meninggal dalam keadaan suci, Mas, begitu Nurul bersikukuh. Dengan telaten Annisa mengambilkan air wudu untuk Nurul. Didampingi Hadi dan Annisa, juga celoteh kedua anak kembarnya, Nurul menerima jemputan malaikat Izrail. Senyum tulus dan ikhlas membias di wajahnya. Senyum perempuan suci yang tak pernah mampu dihapus Hadi dari hatinya, bahkan Annisa pun suka mengangkan saat-saat itu.

Kematian Nurul melahirkan fitnah-fitnah keji. Beberapa keluarga dan kerabat menuduh Annisa menjadi penyebab kematian Nurul meski mereka mengetahui Nurul menderita kanker. Pernikahan Annisa dan hadi memperburuk kesehatan Nurul, Annisa tega merebut suami orang, dan masih banyak suara sumbang lainnya. Namun, Hadi begitu setia mendampingi Annisa menghadapi masa sulit itu, saat di mana ia sendiri pun sedang jatuh bangun menguatkan ahtinya setelah kehilangan istrinya. Kebersamaan inilah yang pada akhirnya menmbuhkan benih-benih cinta di hati mereka.

*****

Sore saat matahari pelan-pelan hampir tenggelam. Sepasang suami istri beserta dua bocah kembar tampak khusuk berdoa di hadapan sebuah makam. Nurul Aini, nama ahli kubur yang dimakamkan di dalam kuburan itu. Daun-daun kamboja sesekali gugur. Tak banyak peziarah di sana.

"Semoga Allah menempatkanmu di surga-Nya, Mbak. Percayalah aku akan mendampingi Mas Hadi dan merawat Rafa dan Rafi seperti anakku sendiri."

Hadi masih tertunduk dalam doa. Sudah tak ada air mata di wajahnya. Doa untuk istrinya ia opanjatkan tenang dan ikhlas. Ia tahu bahwa istrinya pasti akan mendapat tempat terindah di surga-Nya karena ia melepas kepergian istrinya dengan ikhlas. Bagiya, Nurul adalah istri terbaik yang pernah ia miliki. Ia masih menerima pengabdian dan kasih sayang Nurul bahkan ketika Nurul sudah meninggal, melalui Nisa, istri pilihan istrinya.***













Sabtu, 03 Oktober 2009

‘’中秋節快樂 ....Happy moon cake Festival....Tiong Jiu jie kuai le’’ (Perayaan Bulan Purnama "Tiong Jiu Pia"atau "Kue Bulan")



Hari ini perayaan bulan purnama . Tepatnya tanggal 15 bulan 8 lunar (penaggalan cina).

Di Macau, disemarakan dengan acara baberqiu. Seperti tahun-tahun lalu, semua orang berkumpul bersama anggota keluarga,sambil menyantap makanan yang dipanggang, makan kue bulan, makan jeruk(kalau diiindo dibilang jeruk bali) bercengkerama satu sama lain penuh keakraban. Hari ini keakraban antara tetangga pun terlihat begitu jelas. yang biasanya sibuk dengan rutinitas masing-masing.

Asal usul perayaan yang kuambil dari berbagai info internet :

Perayaan Kue Bulan (Mooncake Festival) merupakan perayaan yang paling populer dikalangan masyarakat Tionghoa di pelbagai pelosok dunia. Perayaan Perterngahan Musim Gugur ini dalam bahasa Inggris juga dikenal dengan sebutan Mid-Autumn Festival. Di Macau hari ini resmi sebagai hari libur.

Tidak salah bila dikatakan kepopuleran perayaan yang satu ini meningkat dari tahun ke tahun karena kue bulan yang sangat digemari. Di Hong Kong, Taiwan dan Singapura misalnya, hotel dan restoran ternama berlomba mempertunjukan kue bulan buatan mereka dalam kemasan yang sangat menarik, sehingga masyarakat tahu kue bulan buatan siapa yang paling enak dan menarik.

Masyarakat Tionghoa menamakan perayaan ini Perayaan Pertengahan Musim Gugur (Chung Chiu) karena memang selalu jatuh pada tanggal 15 Bulan 8 Imlek (Peh Gwe Cap Go) yang pada tahun 2009 ini jatuh pada tanggal 3 Oktober pada kalendar Internasional. Sebutan dalam bahasa Inggrisnya adalah Mid Autumn Festival. Perayaan ini juga dikenal dengan sebutan Perayaan Kue Bulan (Moon Cake Festival) atau Perayaan Bulan (Moon Festival).

Pada awalnya, perayaan Kue Bulan ini dimulai dengan peringatan kepada Dewi Bulan Chang Er sesuai dengan lagenda tua dari awal peradaban Han beberapa ribu tahun yang silam. Namun tercatat pula bahwa pada masa dinasti Yuan (tahun 1271 – 1368) dimana Tiongkok dikuasai oleh bangsa Mongol, kaum penjuang Han menggunakan kue bulan sebagai bahan pengantar sandi agar rakyat Han secara serentak memulai pemberontakan terhadap pemerintah Mongol pada tanggal 15 bulan 8 Imlek. Setelah dinasti Yuan berakhir dan dimulainya dinasti Ming, perayaan Kue Bulan juga diasosiasikan dengan perjuangan orang Han melawan Mongol.

Namun dewasa ini, perayaan Kue Bulan melambangkan kekeluargaan karena pada hari itu segenap anggota keluarga dan teman berkumpul merayakannya dengan melakukan sembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Dewata Bumi (Tho Tee Kong) dan makan kue bulan

Saya mengucapkan " 中秋節快樂 ....Happy moon cake Festival....Tiong Jiu jie kuai le..bagi yang merayakannya.

Semoga,semua orang yang baik hati bisa berkumpul dengan keluarga masing-masing, melewati hari Purnama yang bulat sempurna…


( special for ‘K L N’ di Taiwan )

Rabu, 02 September 2009

KAU HANYA BERTEDUH


Oleh Kwek Li Na

Kenapa hujan tiba-tiba turun ke bumi
Menyuburkan tunas rasa di hati ?
Kenapa ada pertemuan
Jika akhirnya aku menuai kesedihan

Kenapa kau tiba-tiba hadir
Dengan sekuntum senyum
Beserta sekuncup semangat
Disaat kurasakan gersangnya kehidupan

Aku tahu...kau seorang pengembara
Hanya berteduh sebentar di beranda tuaku
Lalu akan melanjutkan perjalanan tanpa pernah kutahu kemana ?

Namun rasa telah melekat dalam dada ini
Cinta telah merebes ke seluruh nadi
Saat kutahu, kau mesti pergi
Mulutku terkunci
Hanya bisa menatapmu, berlalu dengan lunglai

Aku mesti menggulung rindu ini, dalam kain waktu
Rasa ini tak akan kubiarkan lagi memasungku
Pelan-pelan, kan' kuhapus namamu dari memori kehidupanku
Kita dipertemukan bukan untuk menjadi satu
Jalanku dan jalanmu tak searah
Di persimpangan ini, kita mesti berpisah.


Sabtu, 29 Agustus 2009

LUKA DIAWAL RAMADHAN...!!!


Dalam selembar daun sepi
Ku ukir luka baru hari ini
Luka yang teramat nikmat
Dan kuyakini begitu indah

Ditanganku sebuah pedang
Demi cinta...harus kutebaskan
Sebuah pengakuan terluahkan
Kesadaran diterjemahkan

Lukaku diawal Ramadhan
Tetesan darahku sayang....
Jeritku adalah pengabdian
Kelak, kan terbuka makna kesaktian

Wahai daun yang menghijau
Lihatlah...darah merah ini
Kupersembahkan untukmu hari ini
Agar engkau tetap bersemi dan berseri